Blog

  • Lidah buaya tanaman sejuta manfaat

    Lidah buaya tanaman sejuta manfaat

    Lidah buaya (Aloe vera) adalah spesies tumbuhan dengan daun berdaging tebal dari genus Aloe. Tumbuhan ini bersifat menahun, berasal dari Jazirah Arab, dan tanaman liarnya telah menyebar ke kawasan beriklim tropis, semi-tropis, dan kering di berbagai belahan dunia.Tanaman lidah buaya banyak dibudidayakan untuk pertanian, pengobatan, dan tanaman hias, dan dapat juga ditanam di dalam pot.

    Lidah buaya banyak ditemukan dalam produk seperti minuman, olesan untuk kulit, kosmetika, atau obat luar untuk luka bakar. Walaupun banyak digunakan secara tradisional maupun komersial, uji klinis terhadap tanaman ini belum membuktikan keefektifan atau keamanan ekstrak lidah buaya untuk pengobatan maupun kecantikan

    Ciri-ciri

    Aloe vera adalah tumbuhan tanpa batang atau berbatang pendek, dengan tinggi hingga 60–100 cm dan dapat berkembang biak dengan tunas.Dedaunannya berdaging tebal, berwarna hijau atau hijau keabuan, dan sebagian varietas memiliki bintik putih pada permukaan batangnya. Pinggir daunnya berbentuk serrata (seperti gergaji) dengan gerigi putih kecil. Bunga-bunganya tumbuh pada musim panas di sebuah tongkat setinggi hingga 90 cm. Setiap bunga tersebut berposisi menggantung, dan mahkotanya berbentuk tabung sepanjang 2–3 cm. Seperti spesies-spesies Aloe lainnya, Aloe vera membentuk simbiosis mikoriza arbuskula bersama jamur, sehingga meningkatkan ketersediaan mineral dari tanah.

    Daun Aloe vera mengandung senyawa-senyawa fitokimia yang sedang diteliti bioaktivitasnya, seperti senyawa manan terasetilasi, palimanan, antrakuinon C-glikosida, dan senyawa antrakuinon lain seperti emodin dan senyawa-senyawa lektin

    Penggolongan dan penamaan

    Selain Aloe vera, lidah buaya memiliki banyak nama ilmiah sinonim: A. barbadensis Mill., Aloe indica Royle, Aloe perfoliata L. var. vera and A. vulgaris Lam. Nama kedua (epitet spesifik) vera berasal dari bahasa Latin yang berarti “sungguhan” atau “asli”. Beberapa literatur menyebut Aloe vera dengan bintik-bintik putih sebagai Aloe vera var. chinensis;terdapat juga pendapat bahwa Aloe vera berbintik tersebut masih satu spesies dengan A. massawana.Deskripsi spesies lidah buaya pertama kali dibuat oleh Carolus Linnaeus pada 1753 dengan nama Aloe perfoliata var. vera.Deskripsi  kemudian dibuat lagi oleh Nicolaas Laurens Burman dengan nama Aloe vera dalam Flora Indica pada 6 April 1768, dan sekali lagi oleh Philip Miller dengan nama Aloe barbadensis dalam Gardener’s Dictionary sepuluh hari kemudian.

    Penelitian dengan teknik-teknik perbandingan DNA menunjukkan bahwa Aloe vera berkerabat relatif dekat dengan Aloe perryi, sebuah spesies endemik dari Yaman.. Perbandingan DNA lain dengan teknik perbandingan urutan DNA kloroplas dan pemrofilan mikrosatelit menunjukkan kekerabatan dekat dengan Aloe forbesii, Aloe inermis, Aloe scobinifolia, Aloe sinkatana, and Aloe striata. Kecuali A. striata yang berasal dari Afrika Selatan, spesies-spesies Aloe tersebut berasal dari Kepulauan Suqutra/Socotra di Yaman, Somalia, serta Sudan. Akibat tidak jelasnya asal populasi alamiah dari , beberapa penulis berpendapat bahwa Aloe vera kemungkinan berasal dari hasil persilangan

    Persebaran

    Lidah buaya dianggap sebagai spesies asli Jazirah Arab bagian barat daya.Namun, manusia telah menanamnya di berbagai belahan dunia, sehingga mengalami naturalisasi di berbagai tempat seperti Afrika Utara, Sudan dan negara-negara sekitarnya, Spanyol Selatan, Kepulauan Kanari, Tanjung Verde, Kepulauan Madeira.Spesies ini juga mulai dibudidayakan di Tiongkok dan Eropa bagian selatan sejak abad ke-17.Kini, tanaman ini banyak dibudidayakan di kawasan tropis dan subtropis, serta kawasan-kawasan kering di Benua Amerika, Asia, dan Australia

    Budidaya

    Budidaya lidah buaya dalam skala besar terjadi di Australia, Bangladesh, Kuba, Republik Dominika, Tiongkok, Meksiko,India,Jamaika, Spanyol,Kenya, Tanzania, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat.Hasil pertanian lidah buaya banyak dijadikan bahan baku kosmetika.Spesies ini juga banyak ditanam sebagai tanaman hias karena kekhasan bentuknya, bunganya, serta daunnya yang berdaging tebal. Selain itu,  juga ditanam di kebun karena secara reputasinya sebagai tumbuhan obat. Karena daunnya yang tebal sehingga memudahkan menyimpan air, tanaman ini cocok untuk kebun-kebun di daerah bercurah hujan rendah. Tanaman ini mampu hidup di zona 8 hingga 11 dalam sistem penomoran Kementerian Pertanian AS, tetapi tidak tahan jalad (embun beku) atau salju. Spesies ini memiliki ketahanan relatif tinggi terhadap kebanyakan hama serangga, tetapi rentan terganggu oleh kelompok Tetranychidae (“kutu laba-laba”), Pseudococcidae (“koya”), Coccoidea (“serangga sisik”), dan Aphidoidea (“kutu daun”)

    Jika ditanam dalam pot, lidah buaya membutuhkan tanah yang cukup kering dan berpasir serta cahaya matahari yang cukup. Tanaman Aloe dapat “terluka bakar” jika terkena matahari yang terlalu kuat dan dapat mengerut jika tanahnya terlalu lembab.Pot tanah liat (terakota) yang berpori dapat membantu menjaga tanah tetap kering.Penyiraman tanaman ini hanya disarankan setelah tanah sudah benar-benar kering. Di dalam pot, tunas-tunas kecil dapat tumbuh di sekitar tanaman asli, dan dapat dipindahkan ke pot lain agar tanaman induknya memiliki ruang cukup untuk tumbuh dan untuk menghindari serangan hama. Pada negara dengan musim dingin, lidah buaya dapat berhenti tumbuh sementara saat suhu terlalu dingin, sehingga dibutuhkan tambahan kelembaban. Di daerah yang mengalami jalad atau salju, tanaman ini dapat disimpan dalam ruangan atau di rumah kaca yang dihangatkan

    Penggunaan

    Produk kesehatan komersial

    Dua zat yang diambil dari  digunakan dalam produk kesehatan komersial, yaitu gelnya yang tidak berwarna maupun lateksnya yang berwarna kuning.Gel lidah buaya digunakan untuk obat oles untuk berbagai gejala kulit, seperti luka bakar, luka, radang, radang dingin, psoriasis, Herpes labialis, atau kulit terlalu kering. Lateks lidah buaya dijadikan produk (baik bahan itu sendiri maupun digabungkan dengan bahan lain) untuk obat yang ditelan untuk menyembuhkan sembelit.

    Penelitian manfaat

    Menurut Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat (NIH), tidak ada bukti ilmiah yang cukup bahwa  benar-benar efektif dalam penggunaannya oleh kalangan umum, termasuk sebagai obat luar untuk penyembuhan luka.Sementara itu, situs kesehatan Drugs.com menyebut bahwa terdapat bukti yang saling bertentangan (mendukung maupun menolak) tentang penggunaan  untuk menyembuhkan luka dan luka bakar. Situs itu juga menyebutkan adanya sedikit bukti bahwa penggunaan topikal produk-produk lidah buaya dapat membantu penyembuhan gejala psoriasis maupun radang tertentu pada kulit

    Suplemen makanan

    Gel lidah buaya banyak ditambahkan dalam produk-produk komersial seperti yogurt, minuman, dan makanan-makanan manis. Jus  sering dipromosikan manfaatnya untuk sistem pencernaan, tetapi penelitian ilmiah tidak menemukan bukti klaim ini dan badan-badan pengawas makanan dan obat-obatan juga belum ada yang menyetujui klaim tersebut

    Pengobatan tradisional

    Lidah buaya digunakan dalam berbagai ilmu pengobatan tradisional untuk mengobati kulit. Catatan sejarah terawal penggunaan  terdapat di Papyrus Ebers dari Mesir abad ke-16 SM. Pada abad ke-1 M, penggunaannya dicatat dalam De Materia Medica karya tabib Yunani Pedanius Dioscorides, dan Naturalis Historia karya penulis Romawi Plinius Tua.Di Bizantium abad ke-6 M, penggunaan tanaman ini dicatat dalam Juliana Anicia Codex.Dalam pengobatan Ayurveda tumbuhan ini disebut kadhalai (sama dengan tumbuhan agave).:196 (lidah buaya), 117 (agave)

    Produk lain

    Lidah buaya digunakan dalam produk tisu wajah dan dipromosikan sebagai pelembab dan anti-radang untuk hidung. Perusahaan-perusahaan kosmetik menambahkan getah lidah buaya atau bahan-bahan turunan lainnya dalam produk-produk seperti makeup, tisu, pelembab, sabun, tabir surya, krim cukur, dan sampo. Sebuah tinjauan akademis menunjukkan bahwa bahan-bahan  ditambahkan karena efeknya sebagai pelembab dan pelunak

    Sifat racun

    Senyawa aloin yang dihasilkan sebagian spesies Aloe merupakan bahan umum dalam pencahar yang dijual bebas di Amerika Serikat hingga tahun 2002. Pada tahun tersebut, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS melarang bahan tersebut karena perusahaan-perusahaan produsennya tidak menyediakan data keselamatan yang cukup. Lidah buaya berpotensi memiliki sifat racun, dan pada dosis tertentu akan menghasilkan sifat racun terutama ketika ditelan. Sifat racun ini dapat dikurangi saat senyawa aloin dipisahkan saat pengolahan, yang terjadi ketika warna lidah buaya dihilangkan. Terdapat bukti kuat bahwa konsumsi ekstrak lidah buaya berlebihan meningkatkan aktivitas karsinogen (pembentukan tumor) pada tikus percobaan, tetapi efek ini tidak terjadi pada ekstrak yang warnanya dihilangkan. Lidah buaya yang dikonsumsi dengan cara ditelan juga dapat mengurangi kadar gula darah, menyebabkan kram perut, diare, dan hepatitis akut, tetapi bukti efek-efek ini masih belum pasti. Konsumsi lidah buaya secara kronik atau terus-menerus (1 gram per hari) dapat menimbulkan efek samping berupa hematuria, penurunan berat badan, serta kelainan jantung atau ginjal.Menurut NIH, penggunaan ekstrak lidah buaya dengan cara dioles kemungkinan besar aman. Mengikuti pedoman dari Proposisi 65 California 1986, Dinas Penilaian Bahaya Kesehatan Lingkungan (OEHHA) negara bagian tersebut memasukkan lidah buaya sebagai “bahan kimia yang diketahui negara bagian ini menyebabkan kanker dan racun untuk fungsi reproduksi”.

    Produk lidah buaya yang ditelan dapat menimbulkan efek samping akibat interaksi dengan obat-obat resep, seperti obat darah beku, diabetes, penyakit jantung, bahan-bahan penurun kadar kalium (seperti Digoxin), dan diuretik

    TEMPAT BERMAIN SLOT YANG ASIK : MAHKOTA69

  • Jahe tumbuhan obat asal indonesia asli

    Jahe tumbuhan obat asal indonesia asli

    Jahe (Zingiber officinale), adalah tumbuhan yang rimpangnya sering digunakan sebagai rempah-rempah dan bahan baku pengobatan tradisional. Rimpangnya berbentuk jemari yang menggembung di ruas-ruas tengah. Rasa dominan pedas yang dirasakan dari jahe disebabkan oleh senyawa keton bernama zingeron.

    Jahe termasuk dalam famili Zingiberaceae (temu-temuan). Nama ilmiah jahe diberikan oleh William Roxburgh.

    Asal usul dan penyebaran

    Jahe diperkirakan merupakan tumbuhan pribumi Asia Tenggara. Penyebarannya diperkirakan mengikuti migrasi yang dilakukan oleh Suku Bangsa Austronesia pada abad ke-4 SM menyeberangi Kepulauan Melayu dari CIna Tenggara sampai ke Taiwan. Jahe pun menjadi tumbuhan khas wilayah tersebut bersamaan dengan lengkuas, temu putih, dan lempuyang.

    Tumbuhan jahe dikategorikan sebagai tumbuhan kultigen dan tidak tersedia lagi dalam bentuk liar di alam. Hal ini disebabkan karena jahe telah kehilangan kemampuannya tumbuh melalui biji seperti kebanyakan jenis rempah-rempah lainnya dan hanya bisa berkembang biak melalui reproduksi vegetatif menggunakan akarnya yang merupakan akibat dari seleksi buatan yang dilakukan manusia Tumbuhan ini telah lama didomestikasi di India dan Tiongkok.

    Suku Bangsa Austronesia menggunakan jahe sebagai bahan-bahan masakan dan juga sebagai penghangat tubuh dalam ritual kelahiran yang disebut dengan nama “benkidu”. Ritual ini merupakan ritual penghangatan ibu dan bayi baru saja dilahirkan di dalam sebuah ruangan disebut dengan nama “bilik” dengan paparan api dan pemberian jahe sebagai penghangat selama sebulan atau 41 hari.Bagi penutur bahasa proto oseanik, jahe digunakan di dalam ritual sihir.

    Jahe disebarkan oleh Suku Bangsa Austronesia dengan membawanya dalam pelayaran dan menanamnya di setiap taman di pulau-pulau yang mereka kunjungi selama berlayar. Kebiasaan inilah yang menyebabkan jahe tersebar hingga ke Filipina dan Kepulauan Maluku, lalu ke seluruh Indonesia seperti Sumatera, Jawa, Pulau Papua sampai ke Selat Malaka. Penyebarannya terus berlanjut hingga mencapai Eritrea dan Jazirah Arab sebagai pemasok jahe ke wilayah Rumania dan Yunani untuk digunakan oleh para apoteker dan tabib sebagai bahan antidot seperti mithridatic yang secara rutin diminum oleh Mithridates VI dari Pontus.

    Jahe mulai dikenalkan ke wilayah Laut Tengah pada Abad ke-1 Era Umum yang dibawa oleh pedagang dan terkenal di Inggris pada Abad ke-11. Selanjutnya, bangsa spanyol membawanya ke Hindia Barat dan Meksiko

    Sejarah tertulis

    Jahe pertama kali ditulis di dalam buku Analek Konfusius yang ditulis oleh Kong Hu Cu pada tahun 557–479 SM dengan mengatakan bahwa dia tidak pernah mengkonsumsi makanan tanpa jahe di dalamnya

    Penamaan Jahe

    Jahe memiliki nama ilmiah (Zingiber officinale) yang pertama kali dinamai oleh William Roxburgh dalam bukunya Flora Indica yang diterbitkan pada tahun 1832. Kata Zingiber berasal dari Bahasa Yunani “Zingiberi” yang diserap dari kata “Singabera” dari Bahasa Sanskerta yang memiliki makna “tanduk” karena bentuk jahe yang mirip dengan tanduk rusa. Officinale merupakan serapan bahasa latin (officina) yang memiliki makna bahwa tumbuhan digunakan dalam kebutuhan farmasi dan ilmu kesehatan.

    Jahe memiliki nama yang beragam di seluruh Indonesia. Daerah yang berada di Pulau Sumatra mengenalnya dengan nama halia (Aceh), beuing (Gayo), bahing (Karo), alia (Melayu), pege (Toba), sipode (Mandailing), lahya (Komering) lahia (Nias), sipodeh (Minangkabau), page (Lubu), dan jahi (Lampung). Nama jahe mungkin berasal dari pulau Jawa karena memiliki kemiripan seperti jahe dalam bahasa Sunda, jae (Jawa), jhai (Madura), dan jae (Kangean). Daerah Indonesia timur seperti Pulau Sulawesi mengenal jahe dengan nama layu (Mongondow), moyuman (Poros), melito (Gorontalo), yuyo (Buol), siwei (Bare’e), goraka (Bare’e Tojo), laia atau leya (Makassar), dan pace (Bugis). Di Maluku, jahe dikenal dengan nama hairalo (Amahai), pusu, seeia, sehi, siwe (Ambon), sehi (Hila), sehil (Nusa Laut), siwew (Buns), garaka atau woraka (Ternate), gora (Tidore), sohi (Banda) dan laian (Aru). Daerah di Pulau Papua menyebutnya dengan nama tali dalam bahasa Kalanapat dan marman dalam bahasa Kapaur. Wilayah Nusa Tenggara dan sekitarnya menyebutnya dengan nama jae atau jahi (Bali), reja (Bima), alia (Sumba), dan lea (Flores). Bahasa dayak di Kalimantan (Dayak) mengenal jahe dengan sebutan lain, sedangkan dalam bahasa banjar disebut tipakan

    Botani dan sistematika

    Karena jahe hanya bisa bertahan hidup di daerah tropis, penanamannya hanya bisa dilakukan di daerah khatulistiwa seperti Asia Tenggara, Brazil, dan Afrika. Saat ini Ekuador dan Brasil menjadi pemasok jahe terbesar di dunia. Dalam sistematika tumbuhan, tanaman jahe termasuk dalam kingdom Plantae, Subkingdom Tracheobionta, Superdivision: Spermatophyta, Divisi: Magnoliophyta/Pteridophyta, Subdivisi: Angiospermae, Kelas: Liliopsida-Monocotyledoneae, Subclase: Zingiberidae, Ordo: Zingiberales, Suku/Famili: Zingiberaceae, Genus: Zingiber P. Mill. Species: Zingiber officinale (Roscoe, 1817) (US National Plant Database 2004). Sinonim nama jahe adalah: Amomum angustifolium Salisb., dan Amomum zingiber L. Ada sekitar 47 genera dan 1.400 jenis tanaman yang termasuk dalam dalam suku Zingiberaceae, yang tersebar di seluruh daerah tropis dan sub tropis. Penyebaran Zingiber terbesar di belahan timur bumi, khususnya Indo Malaya yang merupakan tempat asal sebagian besar genus Zingiber (Lawrence 1951: Purseglove 1972). Di Asia Tenggara ditemukan sekitar 80-90 jenis Zingiber yang diperkirakan berasal dari India, Melayu dan Papua. Namun hingga saat ini, daerah asal tanaman jahe belum diketahui. Jahe kemungkinan berasal dari China dan India (Grieve 1931; Vermeulen 1999) namun keragaman genetik yang luas ditemukan di Myanmar (Jatoi et al. 2008) dan India, yang diduga merupakan pusat keragaman jahe (Ravindran et al. 2005).

    Jahe memiliki jumlah kromosom 2n=2x=22, tetapi beberapa kultivar jahe diketahui sebagai poliploid (Kubitzki, 1998). Darlington dan Amal (1945) dalam Peter et al. (2007) melaporkan terdapat jenis Z. officinale yang memiliki jumlah kromosom sebanyak 28. Darlington dan Wylie (1955) juga menyatakan bahwa pada jahe terdapat 2 kromosom B. Rachmandran (1969) melakukan analisis sitologi pada 5 spesies Zingiber dan menemukan pada seluruh spesies memiliki jumlah kromosom 2n=22. Ratna Al (1979) mengidentifikasi kariotipe 32 kultivar jahe (Z. officinale) dan menemukan seluruh kultivar jahe memiliki kromosom somatik berjumlah 22 dan ditemukan pula adanya kromosom asimetris (kromosom B) pada seluruh kultivar kecuali kultivar Bangkok dan Jorhat. Beltram dan Kam (1984) dalam Peter et al. (2007) mengobservasi 9 Zingiber spp. dan menemukan bahwa Z. officinale bersifat aneuploid (2n=24), polyploid (2n=66) dan terdapat B kromosom (2n= 22+2B). Tetapi Etikawati dan Setyawan (2000), Z. officinale kultivar jahe putih kecil (emprit), gajah dan merah memiliki jumlah kromosom 2n=32. Eksomtramage et al. (2002) mengamati jumlah kromosom 3 spesies Z. officinale asal Thailand dan menemukan 2n=2x=22. Yulianto (2010) menyatakan jumlah kromosom jahe putih dan jahe merah yakni 2n=24=22+2B. Rachmandran (1969) melakukan analisis sitologi pada 5 spesies Zingiber, selain menemukan jumlah kromosom pada seluruh spesies 2n=22 juga membuktikan adanya struktur pindah silang akibat peristiwa inversi. Observasi pada fase metaphase mitosis menemukan bahwa jahe diploid (2n=2x=22) memiliki panjang kromosom rata-rata 128.02 μm dan lebar 5.82 μm. Rasio lengan kromosom terpanjang dan terpendek adalah 2.06:1, hampir 45,5% kromosom memiliki 2 lengan dan terdapat 2 kromosom yang berbeda (Zhi-min et al. 2006). Adanya variasi pada jumlah kromosom merupakan suatu mekanisme adaptasi dan pembentukan spesies pada tanaman. Hal ini juga menjadi penyebab terjadinya variasi genetik pada jahe. Selain itu ditemukannya struktur pindah silang diduga menjadi penyebab rendahnya fertilitas tepung sari yang menyebabkan pembentukan buah dan biji pada jahe jarang terjadi.

    Ciri morfologi

    Batang jahe merupakan batang semu dengan tinggi 30 hingga 100 cm. Akarnya berbentuk rimpang dengan daging akar berwarna kuning hingga kemerahan dengan bau menyengat. Daun menyirip dengan panjang 15 hingga 23 mm dan panjang 8 hingga 15 mm. Tangkai daun berbulu halus.

    Bunga jahe tumbuh dari dalam tanah berbentuk bulat telur dengan panjang 3,5 hingga 5 cm dan lebar 1,5 hingga 1,75 cm. Gagang bunga bersisik sebanyak 5 hingga 7 buah. Bunga berwarna hijau kekuningan. Bibir bunga dan kepala putik ungu. Tangkai putik berjumlah dua.

    Pengolahan dan pemasaran

    Rimpang jahe, terutama yang dipanen pada umur yang masih muda tidak bertahan lama disimpan di gudang. Untuk itu diperlukan pengolahan secepatnya agar tetap layak dikonsumsi. Untuk mendapatkan rimpang jahe yang berkualitas, jahe dipanen pada umur tidak terlalu muda juga tidak terlalu tua.

    Jahe segar

    Selain dipasarkan dalam bentuk olahan jahe, juga dipasarkan dalam bentuk jahe segar, yaitu setelah panen, jahe dibersihkan dan dijual kepasaran.

    Terdapat beberapa hasil pengolahan jahe yang terdapat di pasaran, yaitu:

    • Jahe kering
    • Awetan jahe
    • Jahe bubuk
    • Minyak jahe
    • Oleoresin jahe

    Jahe kering

    Merupakan potongan jahe yang dikeringkan dengan irisan memotong serat irisan tipis (di tebing). Jenis ini sangat populer di pasar tradisional.

    Awetan jahe

    Merupakan hasil pengolahan tradisional dari jahe segar. Yang paling sering ditemui di pasaran adalah, ting ting jahe (permen jahe), acar, asinan, sirup, dan jahe instan. Beberapa jenis olahan jahe ini disukai konsumen dari daerah Asia dan Australia.

    Bubuk jahe

    Merupakan hasil pengolahan lebih lanjut dari jahe menggunakan teknologi industri, jahe dikeringkan selanjutnya digiling dengan kehalusan butiran bubuk yang ditentukan. Bubuk jahe diperlukan untuk keperluan farmasi, minuman, alkohol dan jamu. Biasanya menggunakan bahan baku jahe kering.

    Oleoresin jahe

    Adalah hasil pengolahan lebih lanjut dari tepung jahe. Warnanya coklat dengan kandungan minyak atsiri 15 hingga 35%. Mengandung komponen bioaktif berupa senyawa fenolik yang dapat bertindak sebagai antioksidan, yakni gingerol, shogaol, dan zingeron. Ketiganya berpengaruh dalam pencegahan penyakit degeneratif, seperti kanker dan penyumbatan pembuluh darah 

    Habitat

    Jahe tumbuh subur di ketinggian 0 hingga 1500 meter di atas permukaan laut, kecuali jenis jahe gajah di ketinggian 500 hingga 950 meter.

    Untuk bisa berproduksi optimal, dibutuhkan curah hujan 2500 hingga 3000 mm per tahun, kelembaban 80% dan tanah lembab dengan PH 5,5 hingga 7,0 dan unsur hara tinggi. Tanah yang digunakan untuk penanaman jahe tidak boleh tergenang.

    Varietas

    Terdapat tiga jenis jahe yang populer di pasaran, yaitu:

    Jahe gajah/jahe badak

    Merupakan jahe yang paling disukai di pasaran internasional. Bentuknya besar gemuk dan rasanya tidak terlalu pedas. Daging rimpang berwarna kuning hingga putih.

    Jahe kuning

    Merupakan jahe yang banyak dipakai sebagai bumbu masakan, terutama untuk konsumsi lokal. Rasa dan aromanya cukup tajam. Ukuran rimpang sedang dengan warna kuning.

    Jahe merah

    Jahe jenis ini memiliki kandungan minyak atsiri tinggi dan rasa paling pedas, sehingga cocok untuk bahan dasar farmasi dan jamu. Bahkan digunakan pula sebagai pengawet alami di industri pangan karena memiliki aktivitas antibakteri dalam kandungannya terhadap bakteri patogen dan perusak pangan.Ukuran rimpangnya paling kecil dengan kulit warna merah, serat lebih besar dibanding jahe biasa.

    Produk jahe

    Di masyarakat barat, ginger ale merupakan produk yang digemari. Sementara Jepang dan Tiongkok sangat menyukai asinan jahe.Sirup jahe disenangi masyarakat Tiongkok, Eropa dan Jepang.

    Di Indonesia, sekoteng, bandrek, dan wedang jahe merupakan minuman yang digemari karena mampu memberikan rasa hangat di malam hari, terutama di daerah pegunungan.